Skip to main content

Merumuskan Fiqh Zakat on SDGs



Assalamualaikum, sahabat!

Pekan lalu, Rabu, 26 Juli 2017, saya dan teman teman dari departemen SHINE FSI FEB UI berkesempatan untuk menghadiri diskusi yang diadakan Kementerian Agama RI, bekerjasama dengan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan lembaga Filantropi Indonesia yang bertemakan "Merumuskan Fiqh Zakat on SDGs" di Auditorium M. H. Rasjidi, Kementerian Agama RI.

Forum yang dimoderatori oleh Bapak Arifin Purwakananta selaku Direktur BAZNAS dibuka dengan pemaparan dari Ibu Susanty Sitorus mewakili lembaga Filantropi Indonesia yang menyatakan bahwa Sustainable Development Goals pada dasarnya memiliki 3 prinsip yaitu: 
1. Universal
2. Integrated
3. No one left behind

Prinsip-prinsip ini terkait erat dengan prinsip zakat yang wajib dilakukan oleh umat Islam. Jadi pada dasarnya, apabila zakat dimaksimalkan maka zakat dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai SDGs dalam jangka panjang.

Bapak K.H. Masdar F. Mas'udi, anggota BAZNAS mengatakan bahwa penghimpunan, pengaplikasian, dan pendayagunaan zakat menjadi kunci dalam merumuskan fiqh zakat untuk mencapai SDGs.

Dalam penghimpunan zakat, lembaga zakat terkesan masih menunggu masyarakat untuk membayar zakat atas dasar kesadarannya masing-masing. Padahal, zakat wajib dilakukan oleh umat Islam dan populasi umat Islam yang begitu besar di Indonesia seharusnya dapat dihimpun secara optimal. Maka, perlu ada regulasi agar amil zakat tidak hanya menunggu penerimaan zakat, namun juga dapat memungut zakat seperti pemungutan pajak.

Diantara permasalahan zakat di Indonesia, Bapak Prof. Dr. Hasanuddin Abdul Fatah, anggota Komisi Fatwa MUI menuturkan bahwa zakat masih sering dianggap hanya wajib untuk individual saja, padahal perusahaan juga perlu melakukan zakat.

Apabila penghimpunan zakat dapat dioptimalkan dari individu dan perusahaan, maka pengaplikasian dan pendayagunaan zakat dapat menjadi salah satu cara untuk mencapai SDGs.

Setelah dana zakat dihimpun, maka pengaplikasian zakat dilakukan dengan cara menyalurkan zakat ke-8 ashnaf yang terdapat dalam surat At-Taubah ayat 60 yaitu fakir, miskin, hamba sahaya, amil zakat, gharim, ibnu sabil, mualaf, dan musafir.

Kedelapan ashnaf ini adalah pedoman untuk pemberdayaan zakat. Jika kedelapan ashnaf ini dapat diinterpretasikan dan diperluas maknanya di era modern ini, maka pemberdayaannya dapat lebih fleksibel.

Amil zakat, sebagai pihak pengelola juga dapat mengelola dana zakat untuk mendirikan infrastruktur atau sekolah atau hal-hal baik lainnya yang dapat digunakan untuk keperluan umat. Hal ini penting agar harta zakat tidak tertahan dan ekonomi dapat berkembang.

Sementara itu, zakat untuk ibnu sabil dapat diinterpretasikan dengan menyalurkan zakat untuk tujuan kebaikan. Karena itu, pendayagunaan zakat dapat dilakukan untuk memberikan manfaat kepada yang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan semua tujuan di sustainable development goals. Salah satu contohnya adalah quality education. Ketika dana zakat disalurkan untuk mendirikan sekolah di tempat yang sulit untuk dijangkau, maka dana zakat sudah membantu dalam meningkatkan kualitas pendidikan di negara tersebut.

Selain itu terkait tujuan dari affordable dan clean energy, dana zakat dapat digunakan untuk membangun pembangkit listrik di daerah yang belum terjangkau energi listrik. Maka dana zakat disini membantu mempermudah pekerjaan warga di daerah tersebut karena pentingnya energi listrik. Hal ini juga dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebagai salah satu tujuan lain dari sustainable development goals.

Diskusi menyimpulkan bahwa zakat sesuai dengan tujuan sustainable development goals yaitu no poverty, yang akan berdampak juga pada good health, well being, and zero hunger.

Kajian terkait fiqh zakat on SDGs masih perlu dikaji lebih lanjut terutama oleh pihak-pihak yang dapat merumuskan fiqh zakat on SDGs ini terutama oleh akademisi, pemerintah, masyarakat, dan media, serta lembaga filantropi dan bisnis. Perumusan ini harus dilakukan bersama agar terdapat ide yang terintegrasi dan berasal dari berbagai perspektif yang berbeda.

Penulis: Shofie Azzahrah, Staff Departemen Study and Research of Islamic Economics and Business
FSI FEB UI

Comments

Popular posts from this blog

Teori Sarang Laba-laba (Cobweb)

Sarang laba-laba (cobweb) merupakan salah satu penerapan analisa supply-demand untuk menjelaskan mengapa harga beberapa barang pertanian dan peternakan menunjukan fluktuasi tertentu dari musim ke musim. Salah satu sebab dari fluktuasi tersebut adalah adanya reaksi yang “terlambat” dari pihak produsen terhadap harga. Teori cobweb dibagi menjadi 3 kasus : Siklus yang mengarah pada fluktuasi yang jaraknya tetap (continuous fluctuation) Siklus yang mengarah pada titik keseimbangan (convergent fluctuation) Siklus yang mengarah pada eksploitasi harga (divergent fluctuation) Kasus 1 : Siklus yang mengarah pada fluktuasi yang jaraknya tetap Pada kondisi keseimbangan pasar (Qs = Qd), harga tomat sebesar Rp 100.000,- dan jumlah produksi 20 kg. Tetapi karena terjadi ledakan hama jumlah tomat yang ditawarkan di pasar turun menjadi 10 kg (Qt), hal ini mendorong kenaikan harga menjadi Rp 150.000,- (Pt). Ketika harga naik para produsen tomat berusaha menambah jumlah pro...

Teori Jean Baptiste Say (1767-1832)

J.B Say berasal dari Prancis. Seperti halnya Ricardo, J.B Say juga berasal dari kalangan pengusaha dan bukan akademis (lihat teori entrepreneur J.B Say dibawah). Jadi, J.B Say ini hobi mengembangkan teori-teori para ekonom sebelumnya dan terlebih lagi keterkaitannya dengan pengembangan teori-teori ini berlangsung pada waktu ia sudah memasuki usia senja, mendekati usia 50 tahun. FYI, J.B Say ini sangat memuja pemikiran-pemikiran nya Smith. Hasil kerjanya dirangkum kemudian kedalam bukunya Traite d’Economie Politique (1903). Apa yang sebenarnya dilakukan J.B Say ini sangat membantu dalam memahami pemikiran-pemikiran Smith dalam bukunya The Wealth of Nations , yang bahasanya relative sulit dicerna oleh orang awam. Nah, kontribusi terbesar apasih yang dilakukan J.B Say? Ternyata, kontribusi terbesar terhadap aliran klasik ialah pandanganya yang mengatakan bahwa setiap penawaran akan menciptakan permintaanya sendiri ( supply creates its own demand ). Pend...

Teori Adam Smith : Division of Labour (Pembagian Tenaga Kerja)

Dalam beberapa karya-karyanya, Adam Smith cukup banyak memberikan perhatian pada produktivitas tenaga kerja. Dari hasil pengamatanya yang cukup mendalam, Smith mengambil kesimpulan bahwa produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan melalui pembagian kerja ( division of labour ). Pembagian kerja akan mendorong spesialisasi; orang akan memilih mengerjakan yang terbaik sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. (Deliarnov, 2010. p. 36).   Adanya spesialisasi sejatinya dapat diartikan bahwa setiap orang tidak perlu menghasilkan setiap barang yang dibutuhkan secara sendiri-sendiri. Akan tetapi, hanya menghasilkan satu jenis barang saja. Kelebihan barang atas kebutuhan sendiri itu dipertukarkan (diperdagangkan) dipasar. (Deliarnov, 2010). Untuk lebih menjelaskan pendapat diatas, Smith memberikan contoh dampak pembagian tugas dalam pembuatan peniti. Jika tiap orang melakukan semua jenis pekerjaan sendiri-sendiri (termasuk didalam nya meluruskan kawat, memotongnya, me...